Harga Gabah di Bojonegoro Masih di Bawah Standar, GMNI Soroti Peran Bulog

Apr 12, 2025 - 15:00
Harga Gabah di Bojonegoro Masih di Bawah Standar, GMNI Soroti Peran Bulog
Ketua DPC GMNI Bojonegoro menanggapi harga gabah di Bojonegoro yang masih di bawah standar

BOJONEGORO, lensanarasi.com — Harga gabah kering panen (GKP) di sejumlah sentra produksi padi di Kabupaten Bojonegoro masih berada di bawah standar yang ditetapkan pemerintah. Padahal, Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 14 Tahun 2025 telah mengatur harga pembelian gabah sebesar Rp 6.500 per kilogram. Di tingkat petani, harga jual gabah tetap lebih rendah dari acuan. Petani mengaku terpaksa tunduk pada mekanisme pasar yang dinilai belum berpihak. Kondisi ini mendapat sorotan dari Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bojonegoro.

“Persoalannya bukan hanya pada harga, melainkan ketidaksiapan Bulog sebagai pembeli utama gabah. Ketika negara tidak hadir dalam penyerapannya, tengkulak mengisi kekosongan itu,” ujar Ketua DPC GMNI Bojonegoro, Ja’far Gunawan, Jumat (11/4).

Menurut Ja’far, infrastruktur dan manajemen distribusi pangan belum memadai untuk mengamankan harga gabah di tingkat petani. Ia menyoroti keterbatasan kapasitas gudang Bulog, lambannya proses pembelian, serta skema serapan yang belum menjangkau petani secara merata.

“Pemerintah telah menetapkan harga, namun mekanisme di lapangan belum disiapkan secara optimal. Akibatnya, petani tetap menjadi pihak yang paling dirugikan,” katanya.
Sebagai langkah responsif, GMNI Bojonegoro menggerakkan kader untuk turun langsung ke desa-desa, melakukan advokasi, dan menyerap keluhan petani. Temuan di lapangan memperkuat kekhawatiran tersebut.

Di Desa Padang, Kecamatan Trucuk, seorang petani, Arifin, mengungkapkan bahwa ia hanya dapat menjual gabah dengan harga Rp5.800 per kilogram, jauh di bawah harga acuan pemerintah.

“Kalau ikut harga Rp 6.500, tidak ada yang mau beli. Ya mau tidak mau ikut harga tengkulak. Kami ini tidak bisa menunggu,” kata Arifin kepada tim advokasi GMNI Bojonegoro.

Ja’far menilai, kondisi ini menunjukkan bahwa regulasi yang diterbitkan pemerintah pusat belum ditopang oleh kesiapan Bulog di daerah. Ketidaksiapan tersebut membuat petani kehilangan akses pasar yang adil. Sementara itu, biaya produksi terus meningkat, mulai dari harga pupuk hingga upah buruh tani.

“Ini bukan sekadar urusan administrasi, melainkan soal keberlangsungan hidup jutaan petani yang hanya panen beberapa kali dalam setahun,” ujarnya.

GMNI Bojonegoro mendesak Bapanas bersama pemerintah daerah untuk segera mengevaluasi implementasi kebijakan harga gabah serta membuka ruang dialog langsung dengan petani. Tanpa langkah konkret di lapangan, kebijakan pangan dinilai hanya akan menjadi regulasi tanpa makna di tengah tantangan nyata yang dihadapi petani.[mla]